BUKAN
AKU TAK CINTA
by : nanis lisna/
nisa marsela
(anis)
Pagi itu tak seperti biasanya, kulihat orang berkumpul
dan berisik serta bising tak karuan.
“Ada
apa Tin, kok hari ini perasaan lain dari biasanya, pakai ada acara
kumpul-kumpul segala lagi?”
“ Aih……..dasar orang gak gaul, kemana aja neng dari kemarin?” Canda
Tina.
“Belum tau ya, hari ini akan datanng seorang pangeran dari sebrang.”
“ Maksudnya siapa?” Tanyaku sambil keheranan.
“Aduh Fany kamu itu emang bego apa polos atau dungu sich! Gak tahu
soal gnian, orang- orang pada gencar ngomongin,masa kamu gak tahu juga.Itu
kepala produksi yang akan menggantikan Pak Wahyu.”
“ Oooo….oh! Di kirain ada apa dengan ada siapa.”
“ Kan
dari tadi kita-kita lagi ngomongin itu, kamu aja yang gak mudeng,makanya jadi
orang jangan super cuek gitu jadi kehilangan berita palagi berita ini
mengasyikan, berita orang ganteng.”
Aku hanya bisa diam, dan melangkahkan kakiku ke meja
kerjaku yang terletak agak jauh dari meja yang sedang mereka kerumuni.Dan ku
mulai membuka lembaran- lembaran kertas yang harus ku kerjakan pagi ini.Ku tak
perduli lagi pada mereka yang masih menggosip.
Tepat
jam 09.00 wib. Orang yang ditunggu datang, semua orang menyambutnya dengan
hangat dan bersahabat,tidak terkecuali dengan aku dan Tina.
“ Ooooo…oh ini pangeran yang dari sebrang itu?”Bisikku pada Tina.
“ Iya………,ganteng kan ?
Ya ampun hidungnya mancung, matanya sipit, perpaduan batak dan cina.” Bibir
Tina berdecak kagum dan matanya terus tertuju pada wajah yang baru di kenal itu
yang sedang berbincang-bincang dengan salah seorang pegawai laki- laki.
“ Iiii…..h sampai segitunya, biasa aja kali…..!” Bisikku lagi.
“ Biasa bagaimana maksud elo? Jelas- jelas dia itu guanteng…..banget
pokoknya bening dech.”
“ Ya…….memang ku akui dia itu memang ganteng dan dalam waktu singkat
dia telah merebut perhatian banyak orang, dengan gaya bicaranya yang lugas serta ke
pandaiannya dalam bargaul, memang orangnya supel sehingga gampang memposisikan
dirinya dalam lingkungan.”
Ya mungkin aku orang munafik, satu-satunya orang munafik
karena tidak mengakui kegantengan dia di depan Tina. Aku belaga cuek tak
memperdulikan, tapi itu memang aku yang tak gampang tergoda oleh kegantengan
semata karena aku menilai laki-laki yang utama adalah personality nya.
Hari
demi hari terus ku lewati, entah sudah berapa ratus hari keberadaan dia di
kantor ini, Karena aku tak pernah menghitungnya, tapi yang namanya Tina teman
ku itu begitu getolnya menghitung hari setelah keberadaan laki-laki itu.
“ Fan ! tak terasa ya waktu sudah 6 bulan dia di kantor ini.”
“ Dia siapa ? “ tanyaku sambil acuh tak acuh.
“ Dia….. pak Leo ! “ kata Tina sambil tersenyum simpul.
Aku terperangah dibuatnya, karena aku tak menyangka sampai segitu
hapalnya. Tina menyebutkan masuknya hari apa, dan tanggal semua dia tahu sampai
sedetail mungkin.
“ Kenapa bengong gitu Fany,
gak ada lalat yang lewat kan
? “ Tanya Tina membuyarkan keheranan ku.
“ Sejak kapan kamu jadi getol menghitung hari ?
biasanya juga kamu nanya ke
aku ini hari apa ya,ini tanggal berapa ya? “
“Sejak kedatangan pak Leo itu !” jawab Tina dengan polosnya.
“ Hati-hati lho Tin, nanti kamu bisa jatuh cinta “
“ Emang kenapa kalau aku jatuh cinta sama pak Leo, toh kita
sama-sama single. Pak Leo masih sendiri kan
? wajar-wajar aja lah.“
“ Tapi kamu harus ingat Tin, ada perbedaan keyakinan yang harus
dipikirkan kita itu muslim dan untuk mencari pendamping hidup yang bener-bener
harus satu keyakinan agar kita selamat dunia dan akhirat dan kita bisa bahagia
dalam membangun rumah tangga.”
“ kan
zaman sekarang sudah banyak yang menikah dengan beda keyakinan, toh mereka
bahagia dengan memegang keyakinan masing-masing tanpa harus
mempermasalahkannya.”
“ Astagfirullohaladzim,Tina….Tina
sudah sejauh itukah cara berpikir kamu ?“ kata Fany sambil geleng-geleng kepala
“ Mungkin mereka bisa bahagia tapi itu secara duniawi, tapi tetap
saja dipandang secara ukhrowi itu tak
sejalan.”
“ Tapi kalau dia ikut keyakinan ku gimana? “ tanya Tina dengan nada
harapan.
“ kalau itu yang terjadi gak apa-apa, bagus juga kamu bisa bimbing
dia dan kamu banyak pahala. “
Ku akui
dia memang baik, secara sosialisasi dia bagus dan tingkah laku dia sopan, bisa
menghargai orang, suka menolong orang yang membutuhkan dan blaa……blaa…..blaa…..
tak bisa di sebutkan satu persatu kebaikannya. Sehingga banyak cewek yang
menyukainya dia adalah type lelaki idaman para wanita.
Entah
mimpi apa aku semalam Pak Leo itu…… entah Leonardo, atau Leonardi atau Leo
Susanto……, memanggilku ke ruang kerjanya.
Apakah aku sudah gila, itu yang ada dalam pikiranku,
sekali lagi mungkin aku manusia yang paling munafik, dalam keseharianku aku
begitu cuek padanya dan pura-pura tak memperhatikannya. Ya, aku memang tak bisa
memperlihatkan rasa sukaku pada Leonardo
itu, karena kata Tina aku orangnya tak seperti wanita lain yang terang-terangan
memperlihatkan rasa sukanya dengan tingkah laku atau sekedar cari perhatian.
Ku
ketuk pintu ruang kerja Pak Leo itu dengan rasa bercampur aduk.
“ Ya silahkan masuk !” terdengar suara dari dalam ruangan kerjanya
menyuruhku masuk.
Ku buka pintu dengan pelan, kulihat dia sedang duduk di meja sambil
memegang pulpen dengan gaya
khasnya yang tegap.
“ Permisi Pak !” sambil manggut
“ Ya silahkan masuk !”
Aku berjalan menuju kursi yang ada di depan meja kerja Pak Leo dank
u duduki dengan hati tak tenang, dadaku bergetar hebat, ada desir-desir yang
tak aku mengerti namun aku coba untuk menenangkan diri dan berpura-pura acuh,
wajahku menunduk karena aku takut memandang wajah dia,takut………. Maksudnya takut
jatuh cinta. Padahal tanpa ku sadari aku sudah jatuh cinta kepadanya. Itu yang
tak ingin terjadi sebenarnya. Tapi cinta datang tanpa permisi, mengetuk ruang
hatiku tanpa mengenal ruang dan waktu. Cinta….. ya itulah cinta dengan segala
misteri dan keunikannya.
“ Apa yang anda pikirkan ?” tiba-tba pertanyaan Pak Leo
mengagetkanku dan membuyarkan lamunanku.
“ Aa……ku…. Tidak memikirkan pa-apa Pak!” aku menjawab dengan sisa
kegugupanku.
“ Kalau tidak memikirkan
apa-apa kenapa saya tanya kamu tidak menjawab ?”
“ Emang Bapak Tanya apa ?” lagi-lagi aku seperti orang bego
dihadapannya.
“ Saya perhatikan dari tadi kamu kayak punya pikiran yang berat.”
Aku terdiam, pikiranku melayang, hatiku galau tak bisa di control.
“ Hello……!” Lambaian tangannya yang berada tepat didepan mataku
menyadearkan aku dari negeri khayalan.
“ Maaf Pak tadi Bapak bicara apa ?”
“ Fany….Fany…… kemana sich pikiranmu ?” tanya Pak Leo sambil geleng-geleng
kepala.
Aku hanya bisa diam dan menunggu Pak Leo bicara lagi.
“ Saya minta kamu untuk menemani saya nanti menemui client saya,
hari ini kamu harus lembur.”
Aku tersentak kaget
bukan kepalang, karena tak biasanya aku harus menemani Pak Leo untuk bertemu
clientnya. Seribu pikirsn jelek merasuk dalam otakku.
“ Kenapa harus saya Pak ? kan
masih ada orang ll\ain, kalau dulu waktu sama Pak Wahyu biasanya yang suka
nemenin Rahma atau Rina.”
“ Kenapa saya milih kamu alasannya simple ! Rahma hari ini gak masuk
dan kayaknya cuti seminggu karena keluarganya ada yang sakit, dan Rina atau
yang lainnya saya lebih percaya sama kamu karena selama ini saya perhatikan
kerja kamu bagus dan kamu punya potensi untuk itu dan kamu orangnya gak seperti
banyak orang yang banyak inginnya dan banyak macamnya.”
“ Ala …..maak
!” hatiku menjerit kecil entah kegirangan atau kegeeran yang jelas aku senang
dengan kata itu, apa lagi dia sok akrab panggil aku dengan menyebut namaku.
“ Rupanya Bapak suka memperhatikan aku ya..?” entah kengapa
tiba-tiba aku nyeletuk mengeluarkan kata-kata itu tanpa pikir panjang.
“ Emangnya gak boleh memperhatikan kamu ?” jawabnya dengan kalem.
Busye…t ! sampai segitunya dia memperhatikan aku. Gumamku dalam
hati, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dan aku hanya bisa diam dan
diam tak bisa menjawab apa-apa lagi.
“ Siap ya nanti sekitar jam 16.00wib. kita berangkat.”
“ Ya baik Pak, tapi berangkatnya bareng Pak ?”
“ Laiyalah….. masa sendiri-sendiri, Fany…Fany… terkadang kamu itu
cerdas, terkadang kamu itu kelihatan polos, itu yang saya suka dari kamu.”
“ Apa Pak !”telingaku serasa lagi mendengar bom di luar sana yang masih terdengar
suaranya menggelegar, namun dia tak bicara apa- apa lagi Cuma senyum bibirnya
terlihat mengembang.
Sore
itu kami berangkat bareng naik Avanza warna cokelat muda kepunyaan dia. Dalam
perjalanan kami tak banyak bicara hanya sesekali gurauan yang tercipta dan
entah kemana lagi pikiranku, dia begitu sempurna di mataku, memang dia baik dan
menurutku dia cowok ideal.
Sesampainya di
lokasi sebuah restorant kami duduk di kursi yang tertata rapi dan di sana
client kami yang sudah menunggu dan kami pun langsung pada intinya membicarakan
product yang akan menjadi terjalinnya kerja sama dan ditemani makanan dan
minuman yang di pesannya dan berakhir sampai menjelang sholat magrib dan kami
pun pulang.
“ Fan, kamu harus sholat dulu ya… kalau di rumah nanti takutnya gak
keburu, kita cari mesjid yang deket aja ya…!” sambil membukakan pintu mobil
untukku.
Sekali lagi “Ala …..mak…
!“orang ini perhatian banget dan pengetian banget, walaupun dia bukan muslim
tapi dia memperhatikan ibadah orang lain.
Itulah awal
kekaguman ku pada dirinya sehingga aku tak tahu lagi tentang pikiranku yang
sehat, yang masuk logika atau sekedar hawa nafsu lebih-lebih lagi dia
memperhatikan ku dalam segala hal.
“ Fany.. kamu belum makan kan
?” di sela rehat setelah menunaikan shalat magrib.
“ Kan
tadi udah Pak di Restorant itu”
“ Kan
itu Cuma makanan ringan doing itu belum termasuk makan nona.”
“ Itu juga sudah cukup bagi ku ”
“ Dasar wanita, yang penting body bagus gak peduli perut lapar,
takut gemuk ya ?” seloroh Pak Leo.
“ Siapa bilang, tidak semua wanita seperti itu buktinya aku selalu
mensyukuri apa yang diberikan tuhan padaku termasuk body ku “
“ Ya udah kalau gitu, kita makan dulu yuk… !” sambil menghidupkan
stater mobil.
“ Gak usah lah Pak nanti jadi ngerepotin Bapak lagian kasian ibu
saya sudah masak capek-capek di rumah gak di makan.”
“ Kan
masih ada papa kamu dan ade atau kakak kamu yang makan.”
“ Iya kan
biasanya Pak kami makan malam bersama.”
“ Saya minta tolong ya sama kamu tolong temenin saya makan malam
sekarang ya…please jangan nolak ya…!”
Aku tak bisa
apa-apa lagi melihat wajah dia yang memelas, aku pun mengangguk dan tersenyum.
“ Nah gitu dong….!”terlihat pancaran wajah nya yang bahagia,
akhirnya mobil pun menuju sebuah café yang terdekat.
Semenjak
kejadian itu hari-hari ku semakin dekat dengan dia,dan entah kenapa aku begitu
senang diperlakukan lebih, padahal bvanyak orang yang mencibir dan yang iri.
Kenapa aku begitu tak peduli dan bersikap acuh tak acuh.
Mungkin cinta telah
membutakan mataku, sehingga aku tak bisa melihat apapun dan tak bisa mendengar
apapun. Seperti siang itu di kantin kantor Tina menegurku.
“ Fany, maaf ya bukan aku mau ikut campur urusan kamu, aku cumaingin
tahu sejauh mana hubungan kamu dengan Pak Leo?”
“ apa maksud kamu ?” aku pura-pura tak mengerti dengan pertanyaan
Tina.
“ jangan belaga bego, pura-pura tak mengerti masalah ini sudah jadi
bahan pembicaraan orang-orang di kantor, kamu sama Pak Leo sudah jadi bahan
gosipan.’
Aku hanya bisa
diam, tak tahu apa yang meski aku ucapkan pada Tina.
“ Fan, kalau kamu masih menganggapa aku ini sebagai sahabat kamu
ngomong dong sama aku, cerita dong sama aku apa yang terjadi dengan kamu
sehingga orang-orang banyak yang memperbincangkan kamu sama Pak Leo, apa benar
yang dibicarakan orang-orang yang disekeliling kita itu ?”
“ aku gak tahu Tin, kenapa ini bisa terjadi ?” hanya itu yang keluar
dari bibir ku.
“ Fan, maaf ya bukan aku iri pada mu, sebagai sahat kita saling
mengingatkan, dulu kamu bilang ke aku menjalani rumah tangga kalau beda
keyakinan tak akan pernah bisa untuk sejalan.”
“ Ya… aku tahu itu “ potongku
“ Tapi entah kenapa aku jadi seperti ini, aku pun tak mengerti.”
Aku mulai bercerita, semenjak Pak Leo mengajak menemui
clientnya dari PT. GARUDA JAYA untuk
bekerja sama dengan perusahaan kita.
“ Tadinya aku bisa Tin, bertahan untuk tidak dekat dengan Pak Leo,
tapi dia terlalu baik untuk di abaikan begitu saja.”
“ Ya .. aku ngerti dengan
perasaan kamu, dengan segala kondisi kamu yang sekarang tapi bukankah kata kamu
juga bahwa hidup berbeda keyakinan tak akan pernah menemukan kebahagiaan yang
sejati, karena tetap saja beda keyakinan walau sejalan secara lahiriah tapi
tetap tidak akan pernah sejalan secara spiritualis.”
Aku terdiam, hanya
kebingungan yang aku temukan. Kalu aku harus jujur pada nurani ku aku takut
kehilangan Pak Leo dan di sisi lain aku juga menyadari tentang keyakinan itu,
jalanku, kehidupanku, tak mungkin bsa berjalan secara sempurna, bila keyakinan
saja sudah beda.
“ Maaf Fany, bila aku terlalu mencampuri urusan pribadi kamu semua
yang aku lakukan hanya karena aku sayang padamu, aku tak mau sahabatku jatuh
dan terperanngkap dalam hidup yang tak di ridhoi oleh Allah swt.”
Itu kata-kata Tina
yang menyadarkan aku dati semua pikiran yang selama ini membelenggu aku.
“ Kamu gak salah Tin, tapi kenapa aku tak bisa untuk melupakan dia
begitu saja, rasanya aku terlalu sakit bila aku meninggalkannya karena aku
begitu mencintainya.”
“ Fany, kau ingat waktu itu kamu ngomong kalau cinta tak bisa jalan
dengan beda keyakinan, aku pun sama seperti kamu aku gak bisa melupakan dia.
Sebenernya aku juga sakit saat mendengar kau dekat dengan Pak Leo. Tapi aku
berusah untuk tidak membenci siapa-siapa dan aku sadar kalau cinta tak bisa
dipaksakan dan aku juga selalu ingat bahwa pernikahan beda keyakinan itu tak
akan di ridhai oleh allah swt.percuma saja, kita itu di dunia bukankah khalifah
tugas utama untuk beribadah. Lupakan bila itu tidak baik bagi agama mu, kecuali
kalau pak Leo itu mau jadi satu keyakinan denganmu.”
“ Itu masalah nya Tin, dia tetap pada keyakinannyadan dia ngomong
sama aku, mau serius sama aku, dia minta kepadaku, harus memikirkan tentang ini
dan besok malam aku harus ngash jawaban, jadi aku harus bagaimana ?”
“ Kalau kamu memang masih menganggap aku sebagai sahabat kamu, coba
tolong dengarkan aku.”
“ Hidup di dunia
itu cuma sementara, ingat kuat-kuat itu oleh kamu agar kamu bisa melawan
perasaan itu dan kita akembali pada Illahi dan kampong akhirat itu tempat kita
yang sesungguhnya dan selamanya. Di sana
kita akan tinggal bersama keabadian dan pilihannya adalah syurga atau neraka.
Dan ingatlah pula siksa neraka itu sangat menyakitkan dan ingatlah pula
kesenangan syurga yang telah dijanjikan Allah.”
Itulah nasehat Tina
atau bisa dibilang ceramah kecil yang membuat aku terperangah dan menyadari
atas kekeliruanku selama ini. Terlalu mendamba cinta semua yang dibarengi hawa
nafsu.
Malam
itu seharusnya malam yang terindah buat ku tapi yang kurasakan hanyalah
kegelisahan dan kegundahan. Galau rasa hati ku tatkala melihat Pak Leo, dia
begitu tenang tersenyum, di sekelilingnya tertata rapih. Sebuah hiasan lilin
putih menghiasi meja yang sudah terhias dan tertata rapih, di sebuah café yang
suasananya begitu romantis.
“ Kenapa sich kelihatannya kamu gelisah banget ?”
Itu pertanyaan Pak Leo yang menyadarkan aku dari kegelisahanku dan
aku hanya bisa diam dan tersenyum hambar.
“ Apa sudah kau pikirkan tentang permintaanku yang kemarin ?”
“ Permintaan yang mana ya ?” tanyaku dengan nada acuh.
“ Masa kamu lupa, itu yang aku minta ‘maukah kamu menjadi istriku?’”
Matanya yang tajam
seakan menembus jantungku sehingga ada getar-getar yang tak dapat aku
kendalikan namun aku berusaha untuk mengumpulkan semua tenagaku untuk melawan
rasa itu dan untuk menjawab dari pertanyaan secara tegas.
“ Terlebih dahulu aku minta maaf bila jawaban ini sungguh
mengecewakan Bapak. Kalau aku harus jujur, aku takut banget kehilangan semua
yang bapak berikan padaku, tentang kasih saying, perhaian, dan terlebih lagi
aku akan merasa sakit bila kehilangan Bapak, bila bapak menjauh dari aku dan
meninggalkan aku karena aku saying sama Bapak, jujur aku mencintai Bapak.”
Hening sesaat,
rasanya aku tak sanggup untuk meneruskan kata-kata itu.
“ Lalu masalahnya apa ? dimana ? toh kita sama-sam mencintai. Apakah
kamu meragukan cinta saya, meragukan keseriusan saya ?” Pak Leo coba untuk
memotong.
“ Maaf Pak bukan gitu, aku yakin bapak mencintaiku dengan tulus tapi
masalahnya aku tak bisa hidup dengan orang yang berbeda keyakinan dan kita
sama-sama teguh dalam keyakinan masing-masing. Kita sama-sama saling
mempertahankan keyakinan sendiri-sendiri.”
“ Maaf Pak, bukan aku tak cinta aku lebih memilih ridho Illahi karena
kita beda.”
Air mataku mulai
mengalir deras, rasanya aku tak ingin melihat orang yang aku cintai terluka dan
tersakiti, tapi harus bagaimana lagi aku juga terluka dan sakit.
Aku tak berpikir
panjang lagi aku berdiri dan berlari kecil meninggalkan Pak Leo yang terlihat
kecewa dengan keputusanku, aku tak perduli lagi saat Pak Leo
memanggil-manggilku, aku tak ingin lagi mendengar alibi Pak Leo untuk
meyakinkanku dan penyaggahan keputusanku. Sambil menangis ku keluar dari café
itu tak perduli orang-orang melihatku dengan pikiran nya masing-masing. Dan aku
langsung naik taxi dan aku tak perduli pada Pak sopir yang keheranan melihatku
berlinang air mata yang ada dalam pikiranku hanya pulang ke rumah dan melabuhkan
diri pada Illahi, mencurahkan semua rasa sakit di hati ini.
Aku tak perduli
lagi dengan hari esok bila Pak Leo menjauh dari ku, bila semua kenangan indah
dan manis harus pudar, toh aku pikir itu hanya dunia semu, karena cinta sejati
berorientasi pada Illahi.
The
end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar