Minggu, 01 April 2012

puisi


                                 Bisa bermanja dengan Tuhan beserta keluarganya
            Kemana anak-anakmu bu/
            Yang seharusnya memajakanmu
            Bisa membahagiakanmu
            Dengan penuh perhatian dan kasih sayang
                        Tapi entahlah bu itu semua hanya terkaanku
                        Karena nuraniku terlanjur sayang padamu
                        Matakupun tak tega melihatmu
                        Untuk memungut sampah dengan tergopoh-gopoh.

 IBU
                                    Ibu...........
                                    Entah siapa namamu aku tak tahu
                                    Wajah lugu yang di balut kesederhanaan
                                    Membuat aku sayang dan rindu
                                    Ingin rasanya aku bertemu
                                                Ibu..........
                                                Dalam pancaran matamu
                                                Kutemukan selaksa duka
                                                Dan kau hanya bisa diam
                                                Ada apa denganmu?
                                    Apa hanya karena kehidupan yang menghimpitmu?
                                    Di usia tua pun harus masih mengais rezeki dari sampah?
                                    Yang seharusnya sedikit bermanja dengan sisa usianya
                                    Bisa bermanja dengan Tuhan beserta keluarganya
            Kemana anak-anakmu bu/
            Yang seharusnya memajakanmu
            Bisa membahagiakanmu
            Dengan penuh perhatian dan kasih sayang
                        Tapi entahlah bu itu semua hanya terkaanku
                        Karena nuraniku terlanjur sayang padamu
                        Matakupun tak tega melihatmu
                        Untuk memungut sampah dengan tergopoh-gopoh.


                                                                                                KARYA: NANIS LISNA

           


            Berapa banyak?
Beapa banyak malaikat yang ku temui hari ini?
Apa aku tak pernah menyadarinya?
Bisa lewat tangan-tangan kecil yang menyelamatkanku?
Atau dengan gebragan yang bisa menyadarkan aku?
            Berapa banyak malaikat yang ku temui hari ini?
            Apa saat aku tersenyum karena ada yang memberi?
            Atau saat aku menangis karena ada yang menyelamatkan aku?
            Mungkin dari rasa terimakasih yang dia perbuatnya?
Emosi yang terbendung dengan ketulusan
Kekesalan yang terselimuti kesabaran
Kepedihan yang terbungkus ketabahan
Bahagia yang terpancar dengan senyuman
            Apa itu ada tangan-tangan penyelamat?
            Berapa malaikat yang membantu meredam
            Tentang kemarahan dan kekesalan kita?
            Tentang kepedihan dan menjadi kebahagiaan kita?

                                                KARYA:NANIS LISNA






            YANG MERINDU
                        Setiap ku dengar namamu
                        Bergeterlah hatiku
                        Ingin rasanya berjumpa denganmu
                        Biar ku bisa menatap wajahmu
                                    Cemburuku saat banyak orang memenggil namamu
                                    Dan aku hanya bisa sedikit memanggilnya
                                    Yang seharusnya setiap saat ku panggil namamu
                                    Membahana, menggema mengguncang dunia
            Namamu yang agung
            Di dengungkan di setiap penjuru dunia
            Akhlakmu yang mulia
            Jadi tauladan setiap manusia
                        Muhammad.....muhammad...muhammad....
                        Bibir ini bersholawat menyebut namamu
                        Sebagai pelipur hati yang merindu
                        Menunggu waktunya untuk bertemu.

                                                            KARYA:NANIS LISNA








                                                TAKUTKU
            Bibir ini ingin selalu ku jaga
            Dari bicara yang sia-sia
            Yang bisa mencelakai jiwa
            Dan menjatuhkan harga diri
Takutku adalah ketika bibir bicara
Tidak selaras dengan apa yang di kata
Dari hati yang tak serupa
Yang menghasilkan kepincangan
            Hati adalah yang paling jujur
            Dalam mengatakan apapun
            Dan mulut adalah perantara
            Apa yang kaluar dari hati
Tapi lidah memang tidak bertulang
Kadang bisa membelokkan kata
Yang datangnya dari hati
Menjadi suatu kebohongan
            Itulah takutku ....
            Yang tak bisa menyelaraskan
            Antara hati dan bibir
            Yang ujungnya pada dusta

                                                                        KARYA: NANIS LISNA        



TUHAN.........
                        Haruskah aku menangis lagi karena dia
                        Yang membuat hilang dan tumbuhnya rasa cinta
                        Berseling dari rasa cinta dan benci serta kerinduan
                        Harus bagaimana aku bersikap
Rasa itu menjadi satu belenggu
Yang berbuah kegalauan dan kekesalan
Saat aku mendengar tak sesuai kenyataan
Pada satu kata yang terucap
TUHAN..........
Hanya engkau yang mampu mengobati lukaku
Dengan segenap kasih sayangmu
Beserta ketulusan-MU
Yang mampu aku menjadi kuat
TUHAN...........
Aku sakit karena dia mengkhianati aku
Mencampakan aku dulu
Dan entah berapa kali lagi dia akan menyakiti aku
Dengan kata-kata manisnya
TUHAN.......
Kenapa dia datang lagi
Kalau Cuma membuat hatiku menangis
Membuat jiwaku jadi rapuh dan sakit
Kenapa kau hadirkan dia kalau hanya untuk menyakiti aku


                                                                                                KARYA: NANIS LISNA
            BERAT CINTAKU
Kalau harus di timbang
Entah berapa beratnya
Sekilo.sekwintal,se ton atau lebih....
Sampai tak bisa terhitung
            Andai aku harus memilih
            Antara berat cintaku pada dia atau diri-MU
            Tentunya aku  akan memilih-Mu
            Yang sudah jelas kasih sayangnya padaku
Aku tak bisa jauh dari-mu
Karena beratnya cintaku padamu
Jangan pernah tinggalkan aku
Walau hanya satu detik
            Apapun yang kau inginkan aku akan berusaha
            Untuk menjadi yang terbaik untuk-Mu
            Memenuhi perintahmu
            Dengan segenap kemampuhanku



                                                                                    BY:NANIS LISNA







                                                                                                KARYA: NANIS LISNA

Bukan Aku Tak Cinta-original created by nanis lisna


                                                BUKAN AKU TAK CINTA
                                   by : nanis lisna/ nisa marsela
                                                                                      (anis)
                  

Pagi itu tak seperti biasanya, kulihat orang berkumpul dan berisik serta bising tak karuan.
Ada apa? Gumamku dalam hati.Kulangkahkan kaki menuju sebuah kerumunan disalah satu meja kerja. Hari ini memang lain kantorku tempatku bekerja begitu ramai, ku dekati Tina yang dari tadi berkicau tak henti-hentinya.
Ada apa Tin, kok hari ini perasaan lain dari biasanya, pakai ada acara kumpul-kumpul segala lagi?”
“ Aih……..dasar orang gak gaul, kemana aja neng dari kemarin?” Canda Tina.
“Belum tau ya, hari ini akan datanng seorang pangeran dari sebrang.”
“ Maksudnya siapa?” Tanyaku sambil keheranan.
“Aduh Fany kamu itu emang bego apa polos atau dungu sich! Gak tahu soal gnian, orang- orang pada gencar ngomongin,masa kamu gak tahu juga.Itu kepala produksi yang akan menggantikan Pak Wahyu.”
“ Oooo….oh! Di kirain ada apa dengan ada siapa.”
Kan dari tadi kita-kita lagi ngomongin itu, kamu aja yang gak mudeng,makanya jadi orang jangan super cuek gitu jadi kehilangan berita palagi berita ini mengasyikan, berita orang ganteng.”
Aku hanya bisa diam, dan melangkahkan kakiku ke meja kerjaku yang terletak agak jauh dari meja yang sedang mereka kerumuni.Dan ku mulai membuka lembaran- lembaran kertas yang harus ku kerjakan pagi ini.Ku tak perduli lagi pada mereka yang masih menggosip.
                       
                        Tepat jam 09.00 wib. Orang yang ditunggu datang, semua orang menyambutnya dengan hangat dan bersahabat,tidak terkecuali dengan aku dan Tina.
“ Ooooo…oh ini pangeran yang dari sebrang itu?”Bisikku pada Tina.
“ Iya………,ganteng kan? Ya ampun hidungnya mancung, matanya sipit, perpaduan batak dan cina.” Bibir Tina berdecak kagum dan matanya terus tertuju pada wajah yang baru di kenal itu yang sedang berbincang-bincang dengan salah seorang pegawai laki- laki.
“ Iiii…..h sampai segitunya, biasa aja kali…..!” Bisikku lagi.
“ Biasa bagaimana maksud elo? Jelas- jelas dia itu guanteng…..banget pokoknya bening dech.”
“ Ya…….memang ku akui dia itu memang ganteng dan dalam waktu singkat dia telah merebut perhatian banyak orang, dengan gaya bicaranya yang lugas serta ke pandaiannya dalam bargaul, memang orangnya supel sehingga gampang memposisikan dirinya dalam lingkungan.”
Ya mungkin aku orang munafik, satu-satunya orang munafik karena tidak mengakui kegantengan dia di depan Tina. Aku belaga cuek tak memperdulikan, tapi itu memang aku yang tak gampang tergoda oleh kegantengan semata karena aku menilai laki-laki yang utama adalah personality nya.

                        Hari demi hari terus ku lewati, entah sudah berapa ratus hari keberadaan dia di kantor ini, Karena aku tak pernah menghitungnya, tapi yang namanya Tina teman ku itu begitu getolnya menghitung hari setelah keberadaan laki-laki itu.
“ Fan ! tak terasa ya waktu sudah 6 bulan dia di kantor ini.”
“ Dia siapa ? “ tanyaku sambil acuh tak acuh.
“ Dia….. pak Leo ! “ kata Tina sambil tersenyum simpul.
Aku terperangah dibuatnya, karena aku tak menyangka sampai segitu hapalnya. Tina menyebutkan masuknya hari apa, dan tanggal semua dia tahu sampai sedetail mungkin.
“ Kenapa bengong gitu  Fany, gak ada lalat yang lewat kan ? “ Tanya Tina membuyarkan keheranan ku.
“ Sejak kapan kamu jadi getol menghitung hari ?
 biasanya juga kamu nanya ke aku ini hari apa ya,ini tanggal berapa ya? “
“Sejak kedatangan pak Leo itu !” jawab Tina dengan polosnya.
“ Hati-hati lho Tin, nanti kamu bisa jatuh cinta “
“ Emang kenapa kalau aku jatuh cinta sama pak Leo, toh kita sama-sama single. Pak Leo masih sendiri kan ? wajar-wajar aja lah.“
“ Tapi kamu harus ingat Tin, ada perbedaan keyakinan yang harus dipikirkan kita itu muslim dan untuk mencari pendamping hidup yang bener-bener harus satu keyakinan agar kita selamat dunia dan akhirat dan kita bisa bahagia dalam membangun rumah tangga.”
kan zaman sekarang sudah banyak yang menikah dengan beda keyakinan, toh mereka bahagia dengan memegang keyakinan masing-masing tanpa harus mempermasalahkannya.”
“ Astagfirullohaladzim,Tina….Tina sudah sejauh itukah cara berpikir kamu ?“ kata Fany sambil geleng-geleng kepala
“ Mungkin mereka bisa bahagia tapi itu secara duniawi, tapi tetap saja dipandang secara ukhrowi itu tak sejalan.”
“ Tapi kalau dia ikut keyakinan ku gimana? “ tanya Tina dengan nada harapan.
“ kalau itu yang terjadi gak apa-apa, bagus juga kamu bisa bimbing dia dan kamu banyak pahala. “
                        Ku akui dia memang baik, secara sosialisasi dia bagus dan tingkah laku dia sopan, bisa menghargai orang, suka menolong orang yang membutuhkan dan blaa……blaa…..blaa….. tak bisa di sebutkan satu persatu kebaikannya. Sehingga banyak cewek yang menyukainya dia adalah type lelaki idaman para wanita.

                        Entah mimpi apa aku semalam Pak Leo itu…… entah Leonardo, atau Leonardi atau Leo Susanto……, memanggilku ke ruang kerjanya.
Ada apa ya..? hatiku bertanya-tanya ada rasa penasaran, ada rasa takut, dan ada rasa tak karuan dan tanpa disadari ada rasa bahagia bila aku bertemu dengannya.
Apakah aku sudah gila, itu yang ada dalam pikiranku, sekali lagi mungkin aku manusia yang paling munafik, dalam keseharianku aku begitu cuek padanya dan pura-pura tak memperhatikannya. Ya, aku memang tak bisa memperlihatkan rasa sukaku  pada Leonardo itu, karena kata Tina aku orangnya tak seperti wanita lain yang terang-terangan memperlihatkan rasa sukanya dengan tingkah laku atau sekedar cari perhatian.

                        Ku ketuk pintu ruang kerja Pak Leo itu dengan rasa bercampur aduk.
“ Ya silahkan masuk !” terdengar suara dari dalam ruangan kerjanya menyuruhku masuk.
Ku buka pintu dengan pelan, kulihat dia sedang duduk di meja sambil memegang pulpen dengan gaya khasnya yang tegap.
“ Permisi Pak !” sambil manggut
“ Ya silahkan masuk !”
Aku berjalan menuju kursi yang ada di depan meja kerja Pak Leo dank u duduki dengan hati tak tenang, dadaku bergetar hebat, ada desir-desir yang tak aku mengerti namun aku coba untuk menenangkan diri dan berpura-pura acuh, wajahku menunduk karena aku takut memandang wajah dia,takut………. Maksudnya takut jatuh cinta. Padahal tanpa ku sadari aku sudah jatuh cinta kepadanya. Itu yang tak ingin terjadi sebenarnya. Tapi cinta datang tanpa permisi, mengetuk ruang hatiku tanpa mengenal ruang dan waktu. Cinta….. ya itulah cinta dengan segala misteri dan keunikannya.
“ Apa yang anda pikirkan ?” tiba-tba pertanyaan Pak Leo mengagetkanku dan membuyarkan lamunanku.
“ Aa……ku…. Tidak memikirkan pa-apa Pak!” aku menjawab dengan sisa kegugupanku.
 “ Kalau tidak memikirkan apa-apa kenapa saya tanya kamu tidak menjawab ?”
“ Emang Bapak Tanya apa ?” lagi-lagi aku seperti orang bego dihadapannya.
“ Saya perhatikan dari tadi kamu kayak punya pikiran yang berat.”
Aku terdiam, pikiranku melayang, hatiku galau tak bisa di control.
“ Hello……!” Lambaian tangannya yang berada tepat didepan mataku menyadearkan aku dari negeri khayalan.
“ Maaf Pak tadi Bapak bicara apa ?”
“ Fany….Fany…… kemana sich pikiranmu ?” tanya Pak Leo sambil geleng-geleng kepala.
Aku hanya bisa diam dan menunggu Pak Leo bicara lagi.
“ Saya minta kamu untuk menemani saya nanti menemui client saya, hari ini kamu harus lembur.”
            Aku tersentak kaget bukan kepalang, karena tak biasanya aku harus menemani Pak Leo untuk bertemu clientnya. Seribu pikirsn jelek merasuk dalam otakku.
“ Kenapa harus saya Pak ? kan masih ada orang ll\ain, kalau dulu waktu sama Pak Wahyu biasanya yang suka nemenin Rahma atau Rina.”
“ Kenapa saya milih kamu alasannya simple ! Rahma hari ini gak masuk dan kayaknya cuti seminggu karena keluarganya ada yang sakit, dan Rina atau yang lainnya saya lebih percaya sama kamu karena selama ini saya perhatikan kerja kamu bagus dan kamu punya potensi untuk itu dan kamu orangnya gak seperti banyak orang yang banyak inginnya dan banyak macamnya.”
Ala…..maak !” hatiku menjerit kecil entah kegirangan atau kegeeran yang jelas aku senang dengan kata itu, apa lagi dia sok akrab panggil aku dengan menyebut namaku.
“ Rupanya Bapak suka memperhatikan aku ya..?” entah kengapa tiba-tiba aku nyeletuk mengeluarkan kata-kata itu tanpa pikir panjang.
“ Emangnya gak boleh memperhatikan kamu ?” jawabnya dengan kalem.
Busye…t ! sampai segitunya dia memperhatikan aku. Gumamku dalam hati, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dan aku hanya bisa diam dan diam tak bisa menjawab apa-apa lagi.
“ Siap ya nanti sekitar jam 16.00wib. kita berangkat.”
“ Ya baik Pak, tapi berangkatnya bareng Pak ?”
“ Laiyalah….. masa sendiri-sendiri, Fany…Fany… terkadang kamu itu cerdas, terkadang kamu itu kelihatan polos, itu yang saya suka dari kamu.”
“ Apa Pak !”telingaku serasa lagi mendengar bom di luar sana yang masih terdengar suaranya menggelegar, namun dia tak bicara apa- apa lagi Cuma senyum bibirnya terlihat mengembang.

                        Sore itu kami berangkat bareng naik Avanza warna cokelat muda kepunyaan dia. Dalam perjalanan kami tak banyak bicara hanya sesekali gurauan yang tercipta dan entah kemana lagi pikiranku, dia begitu sempurna di mataku, memang dia baik dan menurutku dia cowok ideal.
            Sesampainya di lokasi sebuah restorant kami duduk di kursi yang tertata rapi dan di sana client kami yang sudah menunggu dan kami pun langsung pada intinya membicarakan product yang akan menjadi terjalinnya kerja sama dan ditemani makanan dan minuman yang di pesannya dan berakhir sampai menjelang sholat magrib dan kami pun pulang.
“ Fan, kamu harus sholat dulu ya… kalau di rumah nanti takutnya gak keburu, kita cari mesjid yang deket aja ya…!” sambil membukakan pintu mobil untukku.
Sekali lagi “Ala…..mak… !“orang ini perhatian banget dan pengetian banget, walaupun dia bukan muslim tapi dia memperhatikan ibadah orang lain.
            Itulah awal kekaguman ku pada dirinya sehingga aku tak tahu lagi tentang pikiranku yang sehat, yang masuk logika atau sekedar hawa nafsu lebih-lebih lagi dia memperhatikan ku dalam segala hal.
“ Fany.. kamu belum makan kan ?” di sela rehat setelah menunaikan shalat magrib.
Kan tadi udah Pak di Restorant itu”
Kan itu Cuma makanan ringan doing itu belum termasuk makan nona.”
“ Itu juga sudah cukup bagi ku ”
“ Dasar wanita, yang penting body bagus gak peduli perut lapar, takut gemuk ya ?” seloroh Pak Leo.
“ Siapa bilang, tidak semua wanita seperti itu buktinya aku selalu mensyukuri apa yang diberikan tuhan padaku termasuk body ku  
“ Ya udah kalau gitu, kita makan dulu yuk… !” sambil menghidupkan stater mobil.
“ Gak usah lah Pak nanti jadi ngerepotin Bapak lagian kasian ibu saya sudah masak capek-capek di rumah gak di makan.”
Kan masih ada papa kamu dan ade atau kakak kamu yang makan.”
“ Iya kan biasanya Pak kami makan malam bersama.”
“ Saya minta tolong ya sama kamu tolong temenin saya makan malam sekarang ya…please jangan nolak ya…!”
            Aku tak bisa apa-apa lagi melihat wajah dia yang memelas, aku pun mengangguk dan tersenyum.
“ Nah gitu dong….!”terlihat pancaran wajah nya yang bahagia, akhirnya mobil pun menuju sebuah café yang terdekat.
           
                        Semenjak kejadian itu hari-hari ku semakin dekat dengan dia,dan entah kenapa aku begitu senang diperlakukan lebih, padahal bvanyak orang yang mencibir dan yang iri. Kenapa aku begitu tak peduli dan bersikap acuh tak acuh.
            Mungkin cinta telah membutakan mataku, sehingga aku tak bisa melihat apapun dan tak bisa mendengar apapun. Seperti siang itu di kantin kantor Tina menegurku.
“ Fany, maaf ya bukan aku mau ikut campur urusan kamu, aku cumaingin tahu sejauh mana hubungan kamu dengan Pak Leo?”
“ apa maksud kamu ?” aku pura-pura tak mengerti dengan pertanyaan Tina.
“ jangan belaga bego, pura-pura tak mengerti masalah ini sudah jadi bahan pembicaraan orang-orang di kantor, kamu sama Pak Leo sudah jadi bahan gosipan.’
            Aku hanya bisa diam, tak tahu apa yang meski aku ucapkan pada Tina.
“ Fan, kalau kamu masih menganggapa aku ini sebagai sahabat kamu ngomong dong sama aku, cerita dong sama aku apa yang terjadi dengan kamu sehingga orang-orang banyak yang memperbincangkan kamu sama Pak Leo, apa benar yang dibicarakan orang-orang yang disekeliling kita itu ?”
“ aku gak tahu Tin, kenapa ini bisa terjadi ?” hanya itu yang keluar dari bibir ku.
“ Fan, maaf ya bukan aku iri pada mu, sebagai sahat kita saling mengingatkan, dulu kamu bilang ke aku menjalani rumah tangga kalau beda keyakinan tak akan pernah bisa untuk sejalan.”
“ Ya… aku tahu itu “ potongku
“ Tapi entah kenapa aku jadi seperti ini, aku pun tak mengerti.”
Aku mulai bercerita, semenjak Pak Leo mengajak menemui clientnya dari PT. GARUDA  JAYA untuk bekerja sama dengan perusahaan kita.
“ Tadinya aku bisa Tin, bertahan untuk tidak dekat dengan Pak Leo, tapi dia terlalu baik untuk di abaikan begitu saja.”
 “ Ya .. aku ngerti dengan perasaan kamu, dengan segala kondisi kamu yang sekarang tapi bukankah kata kamu juga bahwa hidup berbeda keyakinan tak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sejati, karena tetap saja beda keyakinan walau sejalan secara lahiriah tapi tetap tidak akan pernah sejalan secara spiritualis.”
            Aku terdiam, hanya kebingungan yang aku temukan. Kalu aku harus jujur pada nurani ku aku takut kehilangan Pak Leo dan di sisi lain aku juga menyadari tentang keyakinan itu, jalanku, kehidupanku, tak mungkin bsa berjalan secara sempurna, bila keyakinan saja sudah beda.
“ Maaf Fany, bila aku terlalu mencampuri urusan pribadi kamu semua yang aku lakukan hanya karena aku sayang padamu, aku tak mau sahabatku jatuh dan terperanngkap dalam hidup yang tak di ridhoi oleh Allah swt.”
            Itu kata-kata Tina yang menyadarkan aku dati semua pikiran yang selama ini membelenggu aku.
“ Kamu gak salah Tin, tapi kenapa aku tak bisa untuk melupakan dia begitu saja, rasanya aku terlalu sakit bila aku meninggalkannya karena aku begitu mencintainya.”
“ Fany, kau ingat waktu itu kamu ngomong kalau cinta tak bisa jalan dengan beda keyakinan, aku pun sama seperti kamu aku gak bisa melupakan dia. Sebenernya aku juga sakit saat mendengar kau dekat dengan Pak Leo. Tapi aku berusah untuk tidak membenci siapa-siapa dan aku sadar kalau cinta tak bisa dipaksakan dan aku juga selalu ingat bahwa pernikahan beda keyakinan itu tak akan di ridhai oleh allah swt.percuma saja, kita itu di dunia bukankah khalifah tugas utama untuk beribadah. Lupakan bila itu tidak baik bagi agama mu, kecuali kalau pak Leo itu mau jadi satu keyakinan denganmu.”
“ Itu masalah nya Tin, dia tetap pada keyakinannyadan dia ngomong sama aku, mau serius sama aku, dia minta kepadaku, harus memikirkan tentang ini dan besok malam aku harus ngash jawaban, jadi aku harus bagaimana ?”
“ Kalau kamu memang masih menganggap aku sebagai sahabat kamu, coba tolong dengarkan aku.”
            “ Hidup di dunia itu cuma sementara, ingat kuat-kuat itu oleh kamu agar kamu bisa melawan perasaan itu dan kita akembali pada Illahi dan kampong akhirat itu tempat kita yang sesungguhnya dan selamanya. Di sana kita akan tinggal bersama keabadian dan pilihannya adalah syurga atau neraka. Dan ingatlah pula siksa neraka itu sangat menyakitkan dan ingatlah pula kesenangan syurga yang telah dijanjikan Allah.”
            Itulah nasehat Tina atau bisa dibilang ceramah kecil yang membuat aku terperangah dan menyadari atas kekeliruanku selama ini. Terlalu mendamba cinta semua yang dibarengi hawa nafsu.

                        Malam itu seharusnya malam yang terindah buat ku tapi yang kurasakan hanyalah kegelisahan dan kegundahan. Galau rasa hati ku tatkala melihat Pak Leo, dia begitu tenang tersenyum, di sekelilingnya tertata rapih. Sebuah hiasan lilin putih menghiasi meja yang sudah terhias dan tertata rapih, di sebuah café yang suasananya begitu romantis.
“ Kenapa sich kelihatannya kamu gelisah banget ?”
Itu pertanyaan Pak Leo yang menyadarkan aku dari kegelisahanku dan aku hanya bisa diam dan tersenyum hambar.
“ Apa sudah kau pikirkan tentang permintaanku yang kemarin ?”
“ Permintaan yang mana ya ?” tanyaku dengan nada acuh.
“ Masa kamu lupa, itu yang aku minta ‘maukah kamu menjadi istriku?’”
            Matanya yang tajam seakan menembus jantungku sehingga ada getar-getar yang tak dapat aku kendalikan namun aku berusaha untuk mengumpulkan semua tenagaku untuk melawan rasa itu dan untuk menjawab dari pertanyaan secara tegas.
“ Terlebih dahulu aku minta maaf bila jawaban ini sungguh mengecewakan Bapak. Kalau aku harus jujur, aku takut banget kehilangan semua yang bapak berikan padaku, tentang kasih saying, perhaian, dan terlebih lagi aku akan merasa sakit bila kehilangan Bapak, bila bapak menjauh dari aku dan meninggalkan aku karena aku saying sama Bapak, jujur aku mencintai Bapak.”
            Hening sesaat, rasanya aku tak sanggup untuk meneruskan kata-kata itu.
“ Lalu masalahnya apa ? dimana ? toh kita sama-sam mencintai. Apakah kamu meragukan cinta saya, meragukan keseriusan saya ?” Pak Leo coba untuk memotong.
“ Maaf Pak bukan gitu, aku yakin bapak mencintaiku dengan tulus tapi masalahnya aku tak bisa hidup dengan orang yang berbeda keyakinan dan kita sama-sama teguh dalam keyakinan masing-masing. Kita sama-sama saling mempertahankan keyakinan sendiri-sendiri.”
“ Maaf Pak, bukan aku tak cinta aku lebih memilih ridho Illahi karena kita beda.”
            Air mataku mulai mengalir deras, rasanya aku tak ingin melihat orang yang aku cintai terluka dan tersakiti, tapi harus bagaimana lagi aku juga terluka dan sakit.
            Aku tak berpikir panjang lagi aku berdiri dan berlari kecil meninggalkan Pak Leo yang terlihat kecewa dengan keputusanku, aku tak perduli lagi saat Pak Leo memanggil-manggilku, aku tak ingin lagi mendengar alibi Pak Leo untuk meyakinkanku dan penyaggahan keputusanku. Sambil menangis ku keluar dari café itu tak perduli orang-orang melihatku dengan pikiran nya masing-masing. Dan aku langsung naik taxi dan aku tak perduli pada Pak sopir yang keheranan melihatku berlinang air mata yang ada dalam pikiranku hanya pulang ke rumah dan melabuhkan diri pada Illahi, mencurahkan semua rasa sakit di hati ini.
            Aku tak perduli lagi dengan hari esok bila Pak Leo menjauh dari ku, bila semua kenangan indah dan manis harus pudar, toh aku pikir itu hanya dunia semu, karena cinta sejati berorientasi pada Illahi.


The end